Rabu, 30 September 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Diabetes merupakan penyakit yang dapat menggangu metabolisme glukosa dimana glukosa yang seharusnya menjadi bermanfaat dan merupakan sumber energi, berubah menjadi musuh dalam tubuh yang mengganggu sistem kestabilan organ.
Dalam melakukan aktifitas, akan memerlukan energi baik itu berupa aktifitas fisik maupupun psiologik. Energi yang ada pada manusia sebagian besar dan hampir seluruhnya berasal dari glukosa yang dikomsumsi dan dimetabolisme oleh tubuh.
Namun kadangkala metabolisme yang diharapkan dari sumber energi ini tidak berlansung sebagaimana mestinya, yang mungkin disebabkan berbagai faktor, diantaranya disfungsi organ-organ tubuh yang berperan dalam metabolisme tersebut.
Glukosa yang tidak dimetabolisme tersebut dapat mengganggu kerja fisiologis tubuh dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit akibat kerusakan organ yang dapat ditimbulkannya.
Pada percobaan kali ini akan diamati kegunaan obat-obat antidiabetik glibenklamin, metformin serta glukofan dan juga infuse the hijau pada hewan coba mencit (Mus musculus) dengan melihat efek penurunan kadar gula darah dengan menggunakan alat ukur gula darah yaitu glukometer.



B.     Rumusan Masalah
(1)   Apa pengertian, klasifikasi dan etiologi diabetes mellitus?
(2)   Apa saja golongan obat diuretik?
(3)   Apa saja obat yang digunakan?
C.      Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan praktikum ini adalah
(1)   Untuk mengetahui efek obat terhadap penurunan kadar glukosa dalam darah hewan coba.



 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Dasar teori

Diabetesmelitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik (hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut maupun relatif (Herman, 1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008). 
Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar glukosa dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).
 Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya sekresi insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik  menyebabkan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy, katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
Gejala  penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro, 1998).
1.      Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a.       Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)
b.      Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)
c.       Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
2.      Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a.       Banyak minum
b.      Banyak kencing
c.       Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)
d.      Mudah lelah
e.       Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik,  gejala dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama penderita untuk berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal dengan gejala kronik atau menahun (Katzung, 2002).
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti yang disebut dibawah ini :
1.      Kesemutan                                                    
2.      Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum
3.      Rasa tebal pada kulit telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur
4.      Kram
5.      Capai, pegal-pegal
6.      Mudah mengantuk
7.      Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8.      Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita
9.      Gigi mudah goyah dan mudah lepas
10.  Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan
Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg.   (Tjokroprawiro, 1998).

B. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus
1.      Diabetes Mellitus tergantung Insulin (DMTI, tipe 1)
Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM) merupakan istilah yang digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang tidak dapat bertahan hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum dari IDDM ini adalah terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari pulau-pulau Langerhans (Katzung, 2002).
Kebanyakan penderita IDDM berusia masih muda, dan usia puncak terjadinya serangan adalah 12 tahun. Namun demikian, 10% pasien diabetes diatas 65 tahun merupakan pengidap IDDM (Katzung, 2002).
IDDM dapat juga disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus. Hal ini menunjukkan bahwa IDDM dapat timbul karena adanya hubungan dengan gen-gen pasien dan dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada, termasuk bermacam-macam virus (Jones and Gill, 1998; Tunbridge and Home, 1991).

2.      Diabetes mellitus tidak tergantung Insulin (DMTTI ,Tipe II)
Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI atau NIDDM) merupakan istilah yang digunakan untuk kelompok diabetes mellitus yang tidak memerlukan pengobatan dengan insulin supaya dapat bertahan hidup, meskipun hampir 20% pasien menerima insulin dengan tujuan untuk membantu mengontrol kadar glukosa darah. NIDDM biasanya ditunjukkan oleh adanya kombinasi yang beragam dari tahanan insulin dan kekurangan insulin (Tunbridge and Home, 1991).

C. Obat Antidiabetes
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia). Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi, termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose (Katzung, 2002).
Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu prekursor, yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk membentuk insulin dan peptida C residual. Granula menyimpan insulin sebagai kristal yang mengandung zink dan insulin.

Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP) intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β dan metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung, 2002).
Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiri dari dua subunit α dan dua subunit β yang terikat secara kovalen oleh ikatan disulfida. Setelah insulin terikat pada subunit α, kompleks insulin-reseptor memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh enzim lisosom. Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor mendasari down-regulation reseptor yang dihasilkan olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan insulin pada reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan memulai suatu rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin (Neal, 2006).
Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental : pengajaran pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen hipoglikemia. Agen-agen yang baru digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus adalah obat-obat dari golongan sulfonilurea, biguanida, turunan thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara injeksi). Meskipun obat-obat ini telah digunakan secara intensif karena efek yang baik dalam kontrol hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik pada diabetes mellitus, tidak dapat menekan komplikasi akut maupun kronis (Galacia et.al, 2002).

A.    Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel β pankreas. Golongan ini meliputi:
Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak begitu berat, yang sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari golongan sulfonilurea antara lain:
a.      Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat menghasilkan insulin.
b.     Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
c.       Meningkatkan penggunaan glukosa darah
Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:
a.       Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide, Chlorpropamide
b.     Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide, Gliquidon, Glibonuride.
2.      Golongan glinida
Sekretagok insulin baru, yang kerjanya melalui reseptor sulfonilurea dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral. Repaglinid mempunyai masa paruh yang singkat dan dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa (Soegondo, 2006).

B. Sensitizer Insulin
Golongan obat ini meliputi obat hipoglikemik golongan biguanida dan thiazolidinedione, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif (Depkes RI, 2005).


1.      Golongan Biguanida
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Mekanisme kerja golongan biguanid (metformin):
a.       Meningkatkan glikolisis anaerobik hati.
      b.      Meningkatkan uptake glukosa di jaringan perifer atau       mengurangi glukoneogenesis.
      c.       Menghambat absorpsi glukosa dari usus (Herman, 1993; Soegondo, 2006)
2.        Golongan  Thiazolidinedione atau Glitazon     
Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Glitazon merupakan Agonist peroxisomeproliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K dan uncoupling protein-2 (UCP) (Soegondo, 2006).


Aloksan
CAS number
:
50-71-5
Rumus molekul
:
C4H2N2O4
Masa molar
:
142.07 g/mol
titik leleh
:
256 °C
Kelarutan dalam air
:
Mudah larut dalam air


Aloksan(2,4,5,6-tetraoksipirimidin4,5,6-pirimidintetron) adalah suatu senyawa yang sering digunakan untuk penelitian diabetes menggunakan hewan coba. Aloksan dapat menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan diabetes pada hewan coba. Efek diabetogenik aloksan ini dapat dicegah oleh senyawa penangkap radikal hidroksil (Studiawan dan Santosa, 2005).

Sinoni:
:
Gliburid
Indikasi:
NIDDM ringan - sedang
Kontraindikasi:
:
wanita menyusui, profiria, dan keto asidosis
Peringatann
:
Penggunaan harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fingsi hati dan ginjal.
Efek samping
:
Gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejalahematologiktermasuk trombositopenia, agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.
Interaksi
:
Dengan penghambat ACE dapat menambah efek hipoglikemik. alkohol meningkatkan efek hipoglikemik, analgesik meningkatkan efek sulfonilurea (glibenklamid).
Dosis
:
Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg.
                             (Depkes RI, 2000)


 BAB III
HASIL dan PEMBAHASAN

A.    Hasil Pengamatan

1.      Berat badan hewan coba
Berat badan mencit = 15,9 gram
2.      Perhitungan dosis (Dosis lazim Glibenklamid 5 mg, suspensi )
Dosis = dosis konversi x dosis lazim
 = 0,0026 x 5 mg
 = 0,013 mg
Dosis yang diinginkan =  x 0,013 mg
 = 0,0103 mg
Obat yang diberikan    =  50 ml
 = 0,103 ml
 = 0,1 ml

B.     Tabel Hasil Percobaan

Tabel hasil percobaan (awal kadar gula = 94 )
Perlakuan
Kadar Glukosa Darah
Keadaan Hiperglikemi
Setelah 30 menit
Mencit deberi suspensi glibenklamid
103
127

 

 B.       Pembahasan
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui efek obat terhadap penurunan kadar glukosa darah hewan coba. Hewan coba yang digunakan adalah mencit. Pengertian dari diabetes melitus adalah suatu gangguan menahun pada khususnya metabolisme karbohidrat dalam tubuh, dan juga pada metabolisme lemak dan protein (lat. Diabetes = penerusan, mellitus = madu). Sebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk menggunakan (membakar) glukosa sebagai sumber energi serta guna sintesis lemak, dengan efek terjadinya hiperglikemia.
Terapi farmakologi digunakan untuk menormalkan kadar glukosa dalam darah mencit. Obat yang diberikan dalam praktikum adalah obat antidiabetes golongan Sulfoniluria yaitu Glibenklamid. Mekanisme dari Glibenklamid adalah merangsang pelepasan insulin dari sel beta pancreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor.
Tahap pertama yang dilakukan yaitu menimbang berat badan mencit menggunakan timbangan digital. Berat badan mencit 15,9 gram. Berat badan diperlukan untuk menghitung dosis obat yang akan diberikan pada mencit. Lalu, menghitung dosis obat Glibenklamid yang memiliki dosis lazim 50 mg. Larutan suspense yang tesedia 50mg/50ml. Hasil perhitungan pemeberian obat pada mencit diperoleh 0,1 mL. Dosis harus disesuaikan dengan berat hewan coba, karena dpat berpengaruh pada efek terapi obat. Selanjutnya mengecek kadar awal glukosa mencit satu hari sebelum praktikum dengan cara memotong bagian ekor mencit. Pengambilan darah dilakukan pada bagian ekor karena terdapat banyak pembuluh darah. Alat glukotes menunjukkan kadar glukosa pada mencit 85 mg/dl. Setelah diperoleh kadar awal glukosa, mencit diberikan larutan fruktosa. Fruktosa adalah salah satu jenis karbohidrat, merupakan gula yang terdapat secara alami dalam buah-buahan dan madu yang dapat terhidrolisis di lambung menjadi glukosa. Larutan tersebut berfungsi untuk meningkatkan kadar glukosa dalam darah mencit. Fruktosa diberikan secara oral menggunakan sonde. Larutan diluncurkan melalui langit – langit kea rah belakang sampai esophagus, sampai masuk ke dalam lambung. Ditunggu sampai 30 menit. Waktu 30 menit itu dianggap larutan mengalami proses pencernaan, hidrolisis menjadi glukosa, sehingga dapat meiningkatkan kadar glukosa dalam darah. Ekor tikus dipotong lagi untuk mengecek kadar glukosa setelah diberikan larutan fruktosa. Kadar glukosa mencit setalah diberikan larutan menjadi 103 mg/dl. Kadar glukosa mencit lebih tinggi dari pada kadar awal. Hal tersebut menunjukkan larutan benar dicerna dengan baik dan terhidrolisis sempurna meningkatkan kadar glukosa dalam darah mencit. Glukosa yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel beta pankreas untuk mensekresikan insulin. Insulin yang disekresikan membantu glukosa masuk ke dalam sel utuk dipakai sebagai energi dan sebagian lagi diubah menjadi glikogen yang nantinya disimpan di hati. Kerja insulin tersebut terjadi saat kadar insulin cukup atau sesuai dengan kadar glukosa yang ada di tubuh. Berbeda dengan keadaan mencit, Kadar glukosa terlalu banyak, sedangkan insulin yang disekresikan oleh beta pangkreas tidak cukup untuk mengatur kadar glukosa tersebut. Glukosa yang tinggi tidak mampu merangsang sel beta pankreas untuk menghasilkan insulinsesuai denga kadar yang dibutuhkan. Hal tersebut yang membuat hasil pada glukotes tinggi. Tingginya kadar glukosa tersebut disebut hiperglikemia. Hiperglikemia disebabkan karena adanya gangguan metabolisme baik berupa karbohidrat, lemak dan protein yang akhirnya mengakibatkan komplikasi kronis kardiovaskuler. Dari kopikasi tersebut akan menimbulkan banyak penyakit sepeti hipertensi, gagal jantung dan sebagainya. Keadaan tersebut merupakan diabetes mellitus.
Cara kerja selanjutnya yaitu pemberian larutan suspensi Glibenklamid. Pemberian obat dilakukan secara oral sebanyak 0,1 mL. Sebelumnya, dosis obat yang akan diberikan sudah dihitung sesuai dengan berat badan mencit. Kemudian mencit ditunggu selama 30 menit. Selama itu, obat bekerja melalui sistem pencernaan sampai menimbulkan efek terapi. Kadar glukosa di cek kembali untuk mengetahui kadar glukosa setelah pemberian Glibenklamid. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh Kadar glukosa mencit naik, yang awalnya 103 mg/dl menjadi 127 mg/dl. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa Glibenklamid dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah dengan cara merangsang sekresi insulin.
Glibenklamid merangsang sel beta pangkreas tikus agar mensekresi insulin lebih banyak. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat hiperglikemia gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang mencukupi, obat-obat tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin. Itulah sebabnya mengapa obat-obat ini sangat bermanfaat pada penderita diabetes  dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Glibenklamid menyebabkan pengikatan insulin dengan reseptor meningkat. Golongan sulfoniluria ini akan terikat pada reseptor spesifik Sulfolinuri pada sel beta pankreas. Ikatan tersebut menyebabkan berkurangnya asupan kalsium dan terjadi depolarisasi membran. Kemudian kanal Ca2+ terbuka dan memungkinkan ion-ion Ca2+ masuk sehingga terjadi peningkatan kadar Ca2+ di dalam sel. Peningkatan tersebut menyebabkan translokasi sekresi insulin ke permukaan sel. Insulin yang telah terbentuk akan diangkut dari pankreas melalui pembuluh vena untuk beredar ke seluruh tubuh. Insulin yang dihasilkan akan segera menggiring glukosa masuk ke dalam sel, atau dengan mengubah glukosa menjadi glikogen di hati.. Selain itu, Glibenklamid juga dapat menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga proses glikogen menjadi glukosa dihambat dan proses glikogenolisis meningkat.
Hasil percobaan yang diperoleh sesuai dengan teori bahwa obat antidiabetes menimbulkan efek penurunan kadar glukosa darah pada hewan coba.

 BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Jadi berdasarkan hasil percobaan antidiabetik diperoleh kesimpulan bahwa pemberian obat antidiabetik glibenklamid terbukti dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah pada hewan coba tikus, yang awalnya 137  menjadi 74 . Hal ini sesuai dengan teori bahwa glibenklamid dapat merangsang pelepasan insulin dari sel beta pancreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor.

B.     SARAN

Memegang hewan coba tikus harus hati-hati agar hewan coba tikus tidak membalikkan badan untuk menggigit. Cara memegang hewan tikus yang benar yaitu dengan cara memegang pada ekornya, memegang leher belakang dekat kepala dengan ibu jari dan telunjuk.  Dan pada saat pemberian obat per oral menggunakan sonde sebaiknya dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan seperti masuknya obat pada paru-paru yang mengakibatkan kematian.


 
 DAFTAR PUSTAKA
Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .
Adam, J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru. Cermin Dunia Kedokteran No. 127.
Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus. Pharos Bulletin No.1.
Sukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.
Askandar Tjokroprawiro., 1998. Hidup Sehat dan Bahagia bersama Diabetes. Edisi 2. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.(cited:2011 May10) Availablefrom:http//www.ijp.online.com/tem/indianJPharmaco1122123_7886327_2154
Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Soegondo, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W. Sudoyo et al. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta.


1 komentar: