Senin, 24 Oktober 2016

tanaman patah tulang sebagai antikanker

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman, 940 di antaranya digunakan sebagai tanaman obat. Penggunaan tanaman obat sebagai pengobatan tradisional merupakan pilihan pengobatan yang kini makin diminati, terlebih lagi dengan kesadaran untuk kembali ke alam dan juga karena relatif aman dan murah, bahkan dengan perkembangan yang kini ada makin mendapat perhatian bagi alternatif pelayanan kesehatan. Dari berbagai penelitian, obat tradisional telah diakui keberadaannya oleh masyarakat, dengan demikian meningkatkan manfaat tanaman bagi kesehatan dan menciptakan kondisi yang mendorong pengembangan obat tradisional (Hendrawati, 2009).
Salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat secara turun temurun ialah tanaman Patah tulang. Tanaman Patah tulang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, sifilis, penyakit kulit, kusta, kaki dan tangan yang mati rasa dan juga digunakan sebagai obat antikanker (Dalimartha, 2003; Taylor, 2002).
Kanker menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia dan penyakit pembunuh terbesar kedua setelah kardiovaskuler. Pengobatan konvensional yang umum dilakukan pada penyakit kanker ialah dengan pembedahan, kemoterapi dan radioterapi (Apantaku, 2002). Namun, terapi kanker secara pembedahan tidak dapat dilakukan khususnya pada sel kanker yang telah menyebar (metastasis), sementara pengobatan kemoterapi dan radiasi dapat menimbulkan efek samping meskipun pengobatan kemoterapi mampu mengeluarkan keseluruhan tumor (Hawariah, 1998). Saat ini kanker merupakan penyakit yang paling mematikan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menemukan senyawa yang baru yang dapat digunakan sebagai antikanker.
Sebagai skrining awal senyawa antikanker, metode yang dapat dipergunakan adalah metode Brine Shrimplethality Test (BSLT) yaitu uji toksisitas senyawa terhadap larva udang Artemia salina. Metode ini telah dibuktikan memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker (Meyer et al., 1982). Selain itu, metode ini mudah, murah, cepat dan cukup akurat. Metode ini dilakukan dengan menentukan besarnya LC50 selama 24 jam (Meyer et al., 1982).
Suatu ekstrak tanaman atau senyawa hasil isolasi yang memiliki nilai LC50 < 1000 μg/mL dapat diduga memiliki efek sitotoksis (Dwiatmaka, 2000).

B.     Rumusan Masalah
Apakah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli  L.) sebagai  antikanker?

C.    Tujuan
Untuk mengetahui apakah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli  L.) dapat digunakan sebagai  antikanker.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Kanker
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa setiap tahun penyakit kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan dalam tahun 2010 mendatang diperkirakan 9 juta orang meninggal akibat kanker. Di Indonesia setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk. Penyakit kanker saat ini menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan paru-paru (Sofyan, 2000).
Pengobatan terhadap kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, kemoterapi (termasuk imunoterapi dan pemberian hormon), radioterapi, atau alternatif lain melalui ramuan tradisional dari tanaman (Sukardiman et al., 2003). Tanaman obat yang berkhasiat mengatasi beberapa penyakit sudah banyak dibuktikan walaupun baru pada tahap empiris. Agar peranan obat tradisional dapat lebih ditingkatkan perlu didorong upaya pengenalan, penelitian, pengujian dan pengembangan khasiat serta keamanan suatu tumbuhan obat, sehingga keberadaannya dapat dikenal di kalangan medis (Wijayakusuma, dkk., 1995).
Obat tradisional dikatakan rasional, jika terbukti secara ilmiah memberikan manfaat klinik dalam pencegahan atau pengobatan penyakit dan tidak menyebabkan efek samping serius dalam arti aman pada manusia (Dalimartha, 2000). Tanaman obat telah banyak digunakan untuk pengobatan penyakit kanker, baik sebagai pencegahan maupun pengobatan. Berbeda dengan pengobatan kanker menggunakan obat sintetik yang dapat diberikan sebagai obat utama atau sebagai terapi adjuvant, pengobatan dengan obat berasal dari tumbuhan dapat pula digunakan untuk pencegahan. Dalam prakteknya, pengobatan selalu menggunakan terapi kombinasi dari bermacam-macam tumbuhan obat dengan memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi (Kurnia, 2006).
Antikanker diharapkan dapat memiliki toksisitas selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Ganiswara, 2003). Suatu tanaman dapat dikembangkan sebagai alternatif antikanker dengan mengetahui keberadaan Ribosom Inactivating Protein tanaman tersebut (Sismindari et al., 2002).

B.     Tanaman Euphorbia tirucalli L
Tanaman Euphorbia tirucalli L. telah secara empiris digunakan untuk gastritis, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit dan sifilis. Sedangkan batang kayunya digunakan untuk sakit kulit kusta, mengeluarkan duri, pecahan kaca, tulang ikan dan benda tajam lainnya dari kulit tertusuk duri serta kutil (Dalimartha, 2003).
1.    Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.)
a.       Uraian Tanaman
Patah tulang berasal dari Afrika tropis. Di Indonesia, ditanam sebagai tanaman pagar, tanaman hias, di pot, tanaman obat, atau tumbuhan liar. Patah tulang dapat ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 600 m di bawah permukaan laut. Tanaman ini menyukai tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung (Dalimartha, 2003).
Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai tinggi 2-6 m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak dan bergetah seperti susu yang beracun. Patah tulang mempunyai ranting yang bulat silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau. Rantingnya setelah tumbuh sekitar 1 jengkal akan segera bercabang dua yang letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan yang terpatah-patah daunnya jarang, terdapat pada ujung ranting yang masih muda kecil-kecil berbentuk ionset, panjang 7-25 mm, dan cepat rontok, bunga majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya kuning kehijauan, keluar dari ujung ranting. Jika masak buahnya akan pecah dan melemparkan bijibijinya (Dalimartha, 2003).
Jika dibakar, ranting patah tulang yang telah kering dapat mengusir nyamuk. Getahnya untuk meracuni ikan sehingga mudah ditangkap. Namun, jika getah patah tulang mengenai mata, bias menyebabkan buta. Di Jawa, tanaman ini jarang berbunga. Perbanyakan dilakukan dengan stek batang (Dalimartha, 2003). Patah tulang dirawat dengan disiram air yang cukup, dijaga kelembaban tanahnya dan dipupuk dengan pupuk dasar (Hariana A, 2007).
b.      Sistematika dan Klasifikasi Tanaman Euphorbia tirucalli L.
Kingdom                : Plantae
Subkingdom           : Tracheobionta
Superdivision          : Spermayophyta
Divisi                      : Magnoliophyta
Class                       : Magnoliopsida
Subclass                  : Rosidae
Ordo                       : Euphorbiales
Family                     : Euphorbiaceae
Genus                     : Euphorbia
Species                    : Euphorbia tirucalli L.
c.       Kandungan Kimia
Tanaman Euphorbia tirucalli L. getahnya mengandung sifat asam (acid latex), mengandung senyawa euphorbia taraksaterol, α- laktucerol, euphol, senyawa dammar yang menyebabkan rasa tajam ataupun kerusakan pada selaput lendir, kautschuk (zat karet) dan zat pahit. Herba patah tulang mengandung glikosid, sapogenin, dan asam ellaf (Dalimartha, 2003).
Patah tulang mempunyai rasa tawar, tetapi semakin lama menimbulkan rasa tebal di lidah, berbau lemah, dan getahnya beracun. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam getah patah tulang diantaranya senyawa euphorbone, taraksasterol, α-laktucerol, euphol, senyawa dammar. Hingga saat ini efek farmakologis patah tulang belum banyak diketahui (Hariana, 2007).
d.      Nama Daerah, Nama Asing, Nama Simplisia
Tanaman patah tulang di Indonesia memiliki beberapa nama daerah seperti patah tulang (Sumatra); susuru (Sunda); kayu urip, pancing tawa, tikel balung (Jawa), kayu potong (Jawa Timur) (Hariana, 2007). Kayu jaliso, kayu leso, kayu longtolangan, kayu tabar (Madura); Lu san hu (Cina); milk bush, finger tree, fotbad plant tirucalli (Inggris). Nama simplisia Tirucalli Herba (Dalimartha, 2003).
e.       Manfaat Tanaman
Tanaman patah tulang secara tradisional digunakan sebagai obat. Bagian akar dan ranting digunakan untuk pengobatan gastritis/nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri saraf, wasir dan siphilis (Dalimartha, 2003).
Bagian batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta (Marbus Hansen) dan kaki dan tangan baal. Herbanya dapat digunakan untuk mengobati bisul, kurap, terkilir, tulang patah, rematik, tahi lalat membesar dan gatal, cacar ular (Herpes zoster), borok/ulkus karena frambusia, sakit gigi, radang telinga, dan tertusuk duri atau tulang ikan, atau dapat juga dicampur dengan susu untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal, kurap, tumor, kutil dan hafalan (alavus) (Dalimartha, 2003). Gilingan halus kulit luar dahan patah tulang, hasil gilingan ditempelkan pada kulit di atas tulang yang patah dapat mengobati tulang patah (Hariana, 2007).

C.    Artemia salina Leach
1.      Klasifikasi Artemia salina Leach
Artemia  adalah  jenis  udang-udangan  kecil  tingkat  rendah  yang digolongkan  sebagai  zooplankton. Artemia atau yang  juga dikenal dengan nama brine shrimp merupakan hewan dari kelas crustacea yang hidup di air bergaram. Crustacea  ini sangat populer di kalangan pembenih udang karena dapat memacu pertumbuhan  benih,  mudah  di  cerna,  dan  kandungan  nutrisinya  yang  tinggi, terutama  karena  kandungan  proteinnya  (40-60%  dari  berat  total)  dan  kaya  akan asam  lemak  esensial. Klasifikasi  artemia  biasanya  dilakukan  berdasarkan  lokasi berkembangnya artemia tersebut. Artemia yang berkembang secara alami di suatu lokasi  atau  kawasan  mempunyai  karakteristik  morfologi  dan  taksonomi  yang berbeda (Wibowo, dkk., 2013).
Klasifikasi  Artemia salina :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Subfilum          : Crustacea
Kelas               : Branchiopoda
Ordo                : Anostraca
Famili              : Artemiidae
Genus              : Artemia
Spesies             : Artemia salina (Linnaeus, 1758)  ( Dumitrascu, 2011).
2.      Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach
Gambar 2.1. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach (Bachtiar, 2003).
Artemia  berkembangbiak  dengan  dua  cara,  yakni  secara  partenogenesis dan  biseksual.  Seluruh  populasi  artemia  pada  perkembangbiakan  secara partenogenesis adalah  betina. Artemia betina  ini  kemudian bertelur, menetas dan  Menghasilkan  individu  baru berupa  embrio tanpa  dibuahi oleh  sperma artemia  jantan. Populasi artemia yang berkembangbiak secara biseksual  terdiri atas  jenis jantan  dan  betina  yang  melakukan  perkawinan,  yang  kemudian  menghasilkan embrio (Bachtiar, 2003).
Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut :
a.       Fase kista (telur)
Fase kista adalah  suatu kondisi  istirahat pada hewan crustacea  tingkat  rendah seperti  artemia.  Ketika  direndam  ke  dalam  air  laut,  kista  atau  telur  akan menyerap  air  (hidrasi),  akibatnya  di  dalam  kista  terjadi  proses  metabolisme embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian, cangkang kista akan pecah dan muncul embrio yang masih terbungkus oleh selaput penetasan.
b.      Fase nauplius
Nauplius  adalah  larva  stadium  tingkat  pertama  dari  artemia.  Embrio  yang masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi organisme baru yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali oleh pecahnya selaput penetasan  yang  masih  membungkus  embrio  (nauplius).  Larva  ini  berwarna jingga kecokelatan karena membawa kuning telur yang melekat pada tubuhnya. Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7 mm dengan berat 15-20 mcg.
c.       Fase dewasa
Fase dewasa adalah kondisi nauplius yang  telah berkembang menjadi artemia dewasa.  Ciri  artemia  dewasa  adalah  terdapat  sepasang  mata  majemuk  dan antena  sensor  pada  kepala  serta memiliki  saluran  pencernaan. Tubuh  artemia dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya sekitar 10 mg (Bachtiar, 2003).

D.    Brine Shimp Lethality Test
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BST ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC 50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BST jika harga LC < 1000 μg/ ml (Mayer BNNR, Ferrigni ML, 1982).
Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BST dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari bahan-bahan alami (Carballo JL dkk, 2002).
Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50 dengan metode BST, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina seperti mencit dan tikus secara in vivo (Carballo JL dkk, 2002).
Brine  Shrimp  Lethality  Test  (BSLT)  merupakan  salah  satu  metode  uji toksisitas  untuk  menguji  bahan-bahan  yang  bersifat  sitotoksik.  Metode  ini menggunakan  larva  Artemia  salina  Leach  sebagai  hewan  coba.  Uji  toksisitas dengan metode  BSLT  ini merupakan  uji  toksisitas  akut,  yaitu  efek  toksik  dari suatu  senyawa  ditentukan  dalam  waktu  singkat  setelah  pemberian  dosis  uji (Wibowo, dkk., 2013).
Penggunaan  Artemia  salina  ini memang  tidak  spesifik  untuk  antikanker maupun  fisiologis  aktif  tertentu,  namun  beberapa  penelitian  terdahulu menunjukkan  adanya  korelasi  yang  signifikan  terhadap  beberapa  bahan,  baik berupa  ekstrak  tanaman  atau  aksinya  sebagai  antikanker  secara  lebih  cepat dibandingkan  dengan  prosedur  pemeriksaan  sitotoksik  yang  umum,  misalnya dengan  biakan  sel  kanker. Melihat  adanya  potensi  sebagai  antikanker  tersebut, maka  penelitian  lanjutan  dapat  dilanjutkan,  yaitu  dengan  mengisolasi  senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan  uji  larva  udang  atau  metode  yang  lebih  spesifik  sebagai  antikanker (Meyer, dkk., 1982). Pengujian  menggunakan  BSLT  diterapkan  dengan  menentukan  nilai Lethal  Concentration  50%  (LC50)  setelah  perlakuan  24  jam.  Nilai  LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji (Wibowo, dkk., 2013)





























BAB III
METODELOGI
A.    Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.), air laut, larva Artemia salina Leach, aquades, Metanol (Merck), kloroform (Merck), ammonia (Merck), asam sulfat (Merck), pereaksi mayer (Merck), asam klorida (Merck), besi klorida (Merck), serbuk magnesium (Merck), asetat anhidrat (Merck), DMSO (Dimetil sulfoksida) (Oratmangun, dkk, 2014).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat-alat gelas Laboratorium (Pyrex), rak tabung reaksi, blender (laboratory blender), aluminium foil, timbangan analitik (AND), mikropipet, loop, kertas saring, aerator, hot plate, lampu pijar, ayakan mesh 200, oven (Memmert), vortex, water bath, vacum rotary evaporator (Steroglass 3000) (Oratmangun, dkk, 2014).

B.     Pengambilan dan Persiapan Sampel
Sampel yang digunakan ialah Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) yang akan diambil di daerah sekitar Universitas Sam Ratulangi Kota Manado. Selanjutnya sampel dibersihkan dan dikering anginkan hingga sampel kering. Setelah kering sampel di blender hingga sampel menjadi halus lalu diayak dengan ayakan mesh 200 (Oratmangun, dkk, 2014).

C.    Pembuatan Ekstrak Pelarut Polar
Ekstraksi sampel menggunakan pelarut metanol. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi, yaitu sebanyak 100 g serbuk patah tulang yang diperoleh dimasukkan ke dalam beaker gelas kemudian ditambahkan pelarut metanol sebanyak 500 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan terendam selama 3 hari terlindung dari cahaya (setiap hari digojok) (Oratmangun, dkk, 2014).
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat (Filtrat I) dan residunya diremaserasi dengan metanol sebanyak 200 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 2 hari, sampel tersebut disaring menggunakan kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak maserat (Filtrat II). Selanjutnya semua maserat metanol digabungkan (Filtrat I + Filtrat II) dan diuapkan dengan menggunakan alat penguap Rotary evaporator pada temperatur 400C sampai volumenya menjadi ¼ dari volume awal dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan menggunakan water bath pada suhu 400C sehingga menghasilkan ekstrak kental metanol (Oratmangun, dkk, 2014).

D.    Pembuatan Ekstrak Pelarut Non Polar
Ekstraksi sampel menggunakan pelarut kloroform. Pembuatan ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi, yaitu sebanyak 100 g serbuk patah tulang yang diperoleh dimasukkan ke dalam beaker gelas kemudian ditambahkan pelarut kloroform sebanyak 500 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan terendam selama 3 hari terlindung dari cahaya (setiap hari digojok) (Oratmangun, dkk, 2014).
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat (Filtrat I) dan residunya diremaserasi dengan kloroform sebanyak 200 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 2 hari, sampel  tersebut disaring menggunakan kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak maserat (Filtrat II). Selanjutnya semua maserat kloroform digabungkan (Filtrat I + Filtrat II) dan diuapkan dengan menggunakan alat penguap Rotary evaporator pada temperatur 400C sampai volumenya menjadi ¼ dari volume awal dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan menggunakan water bath pada suhu 400C sehingga menghasilkan ekstrak kental kloroform (Oratmangun, dkk, 2014).



E.     Pemilihan telur Artemia salina Leach
Pemilihan telur udang dilakukan dengan merendam telur dalam aquades selama satu jam. Telur yang baik akan mengendap sedangkan telur yang kurang baik akan mengapung (Oratmangun, dkk, 2014).

F.     Penyiapan Larva Artemia salina Leach
Penetasan telur Artemia salina dilakukan dengan cara merendam sebanyak 50 mg telur Artemia salina dalam wadah yang berisi air laut dibawah cahaya lampu 25 watt dan dilengkapi dengan aerator. Telur Artemia salina akan menetas dan menjadi larva setelah 24 jam (Mudjiman, 1988). Larva Artemia salina yang baik digunakan untuk uji BSLT yaitu yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian Artemia salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al., 1982).

G.    Pembuatan Konsentrasi sampel uji
Prosedur berdasarkan McLaughlin, et al. (1991). Konsentrasi larutan uji untuk BSLT adalah 500 μg/mL, 250 μg/mL, 100 μg/mL, 50 μg/mL, 10 μg/mL dan 0 μg/mL (sebagai control negatif). Untuk pembuatan larutan stok ekstrak kental metanol dan kloroform ditimbang sebanyak 20mg, kemudian dilarutkan dengan kedalam air laut sebanyak 20 mL, hingga diperoleh konsentrasi larutan stok 1000 μg/ml. Sampel yang kurang laut ditambahkan DMSO 0,5 mL. Dari larutan stok ini, selanjutnya dibuat lagi konsentrasi 500 μg/mL, 250 μg/mL, 100 μg/mL, 50 μg/mL 10 μg/mL dan 0 μg/mL, dengan cara pengenceran. Untuk konsentrasi 500 μg/mL larutan induk dipipet 5 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 5 ml. Konsentrasi 250 μg/mL larutan induk dipipet 2,5 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 7,5 mL. Konsentrasi 100 μg/mL larutan induk dipipet 1 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 9 mL. Konsentrasi 50 μg/mL larutan induk dipipet 0,5 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 9,5 mL. Untuk konsentrasi 10 μg/mL larutan induk dipipet 0,1 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 9,9 mL dan untuk konsentrasi 0 μg/mL (kontrol) dilakukan tanpa penambahan ekstrak (Oratmangun, dkk, 2014).

H.    Pelaksanaan Uji Toksisitas
Uji toksisitas pada masing-masing ekstrak sampel. Disiapkan wadah untuk pengujian, untuk masing-masing konsentrasi ekstrak sampel membutuhkan 3 wadah dan 1 wadah sebagai kontrol. Selanjutnya pada tiap konsentrasi larutan dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina. Pengamatan dilakukan selama 24 jam terhadap kematian larva Artemia salina dimana setiap konsentrasi dilakukan tiga kali pengulangan dan dibandingkan dengan kontrol. Kriteria standar untuk menilai kematian larva Artemia salina yaitu bila larva Artemia salina tidak menunjukkan pergerakan selama beberapa detik observasi (Oratmangun, dkk, 2014).

I.       Uji Fitokimia (Harborne, 1987)
Uji fitokimia kandungan senyawa aktif dengan uji reagen dari ekstrak pekat metanol dan kloroform dari tanaman patah tulang dilarutkan dengan sedikit masingmasing pelarutnya. Kemudian dilakukan terhadap uji alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid (Oratmangun, dkk, 2014).

J.      Uji Alkaloid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan 1 mL kloroform dan 5 mL ammonia 10 %, lalu ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 M untuk memperjelas pemisahan terbentuknya 2 fase yang berbeda. Fase bagian atas diambil, kemudian ditambahkan reagen mayer. Keberadaan alkaloid dalam sampel ditandai dengan terbentuknya endapan merah (Oratmangun, dkk, 2014).

K.    Uji Flavonoid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan serbuk magnesium secukupnya untuk mengoksidasi sampel. Ditambahkan 10 tetes asam klorida 5 M. Keberadaan flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna hitam kemerahan pada larutan (Oratmangun, dkk, 2014).

L.     Uji Tanin
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 10 mL air panas, kemudian ditetesi menggunakan besi (III) klorida, keberadaan tanin dalam sampel di tandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman.

M.   Uji Saponin
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 10 mL akuades kemudian dikocok kuat selama kurang lebih 1 menit. Selanjutnya didiamkan selama 10 menit dan diamati buih atau busa yang terbentuk. Keberadaan senyawa saponin dalam sampel ditandai dengan terbentuknya buih yang stabil selama 10 menit dengan tinggi 3 cm (Oratmangun, dkk, 2014).

N.    Uji Steroid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 1 mL kloroform. Setelah itu campuran dikocok. Masingmasing asetat anhidrat dan asam sulfat pekat sebanyak 2 tetes ditambahkan pada filtrat, perubahan warna merah pada larutan pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif (Oratmangun, dkk, 2014).

O.    Analisa Data
Data hasil penelitian akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.  Data dari uji toksisitas tersebut akan dianalisis dengan analisis regresi linier sederhana menggunakan Microsoft office exel 2010 untuk menentukan nilai LC50 (Oratmangun, dkk, 2014).




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil Pembuatan Ekstrak Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
Serbuk patah tulang yang digunakan sebesar 100 g untuk masing masing pelarut, kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol dan kloroform masingmasing 700 mL. Proses maserasi dilakukan selama 3 hari dan remaserasi selama 2 hari. Hasil maserat (Filtrat I + Filtrat II) kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 400C. Sehingga diperoleh ekstrak kental metanol 10,49 g dan ekstrak kental klorofrom 5,33 g. Hasil ekstraksi bahan aktif dan besar rendemen tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dapat dilihat pada Tabel 1 (Oratmangun, dkk, 2014).

B.     Hasil Uji Toksisitas
Penelitian ini menunjukkan beban konsentrasi ekstrak dalam media dapat membunuh larva Artemia salina Leach secara berturut-turut dengan konsentrasi 500 μg/ml, 250 μg/ml, 100 μg/ml, 50 μg/ml dan 10 μg/ml. Jumlah kematian larva Artemia salina Leach pada setiap tabung uji dalam berbagai konsentrasi perlakuan ekstrak patah tulang ditunjukkan pada tabel 2 dan 3 dan gambar 9 dan 10. Dari tabel dan gambar tersebut dapat diketahui bahwa berbagai konsentrasi ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang pada percobaan ini memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva Artemia salina Leach. Persentase kematian larva Artemia salina sebesar 6 – 70 %. Pada konsentrasi 0 μg/mL persentase kematiannya sebesar 0 %, 10 μg/mL persentase kematiannya sebesar 6 %, 50 μg/mL persentase kematian sebesar 10 %, 100 μg/mL persentase kematiannya sebesar 23 %, 250 μg/mL persentase kematian sebesar 43 % dan 500 μg/mL persentase kematian sekitar 70 %. Hasil yang diperoleh dibuat grafik yang terlihat pada Gambar 9 yang menunjukkan hubungan antara persentase kematian larva Artemia salina dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam metanol (Oratmangun, dkk, 2014).
Persamaan regresi linear dari grafik pada Gambar 9 di atas digunakan untuk mencari LC50 dengan mensubstitusikan angka 50 % sebagai , sehingga didapat nilai = 0.1366x + 4.6148 (Oratmangun, dkk, 2014).
Dari hasil tersebut didapat konsentrasi ekstrak metanol adalah 332,2489. Hal ini berarti mortalitas hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 332,2489 μg/ml. Persentase kematian larva Artemia salina sebesar 13 – 90 %. Pada konsentrasi 0 μg/mL persentase kematiannya sebesar 0%, 10 μg/mL persentase kematiannya sebesar 13 %, 50 μg/mL persentase kematiannya sebesar 20 %, 100 μg/mL persentase kematiannya sebesar 36 %, 250 μg/mL persentase kematian sebesar 53% dan 500 μg/mL persentase kematiannya sebesar 90% (Oratmangun, dkk, 2014).
Hasil yang diperoleh dibuat grafik yang terlihat pada Gambar 10 yang menunjukkan hubungan antara persentase kematian larva Artemia salina dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam kloroform (Oratmangun, dkk, 2014).
Persamaan regresi linear dari grafik pada Gambar 10 di atas digunakan untuk mencari LC50 dengan mensubstitusikan angka 50 % sebagai, sehingga didapat nilai = 0.1648 + 10.342. Dari hasil tersebut didapatkan nilai dalam persamaan ini adalah 240,6432. Hal ini berarti kematian hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 240,6432 μg/mL (Oratmangun, dkk, 2014).
Jumlah larva Artemia salina Leach diuji dengan tiga kali replikasi yaitu 30 ekor. Jumlah total larva Artemia salina Leach yang digunakan yaitu 180 ekor larva. Total kematian diperoleh dengan menjumlahkan larva yang mati pada setiap konsentrasi, sedangkan rata-rata kematian larva diperoleh dengan membagi total kematian larva pada tiap konsentrasi dengan jumlah replikasi yang dilakukan yaitu tiga kali. Kemudian dihitung persentase kematian larva dari rata-rata kematian pada tiap konsentrasi. Hasil dari analisis dengan menggunakan regresi linier sederhana menunjukan nilai LC50 dari ekstrak metanol patah tulang adalah 332,2489 μg/mL dan ekstrak kloroform patah tulang adalah 240,6432 μg/mL (Oratmangun, dkk, 2014).
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan salah satu uji praskrining atau pendahuluan untuk mendapatkan aktivitas biologis yang sederhana untuk menentukan tingkat toksisitas akut suatu senyawa atau ekstrak dengan menggunakan Artemia salina sebagai hewan uji. Artemia salina yang digunakan pada pengujian toksisitas ialah Artemia salina yang berada pada tahap nauplii atau tahap larva. Hal ini dikarenakan Artemia salina pada tahap nauplii sangat mirip dengan sel manusia (Meyer, 1982).
Korelasi antara uji toksisitas akut ini dengan uji aktivitas sitotoksik adalah jika motalitas terhadap Artemia salina yang ditimbulkan memiliki nilai LC50< 1000 μg/mL. LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan uji. Parameter yang ditunjukkan untuk mengetahui adanya aktivitas sitotoksik, menurut McLaughlin (1991) nilai LC50 < 30 μg/mL berpotensi sebagai antikanker (sitotoksik), nilai LC50 dari 30-200 μg/mL berpotensi sebagai antimikroba dan nilai LC50 200-1000 μg/mL berpotensi sebagai pestisida (Oratmangun, dkk, 2014).
Dari Tabel 2 dan 3 di atas terlihat bahwa semakin besar nilai konsentrasi ekstrak, mortalitas pada Artemia salina juga semakin besar. Hal ini sesuai dengan Harborne (1994), yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya akan semakin tinggi. Kematian Artemia salina dalam tabung percobaan karena perlakuan, mengalami disorientasi gerak (gerakannya tidak teratur). Artemia salina dalam tabung ini tetap aktif bergerak, akan tetapi tetap berputar-putar pada satu titik, sedangkan Artemia salina yang berada dalam tabung percobaan 0ppm (Kontrol) tidak memberikan kematian sama sekali dalam waktu 24 jam pengamatan. Hal ini membuktikan bahwa Artemia salina yang mati disebabkan oleh sifat toksik dari  kedua ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli L) tersebut (Oratmangun, dkk, 2014).
Suatu ekstrak menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada konsentrasi kurang dari 1000 μg/ml (Meyer, 1982 ; Anderson, 1991). Berdasarkan dari pernyataan di atas, maka ekstrak patah tulang bersifat toksik. Hal ini ditunjukkan oleh perolehan data yang berasal dari kedua pelarut baik metanol maupun kloroform. Ekstrak metanol memiliki nilai LC50 sebesar 332,2489 μg/ml dan ekstrak kloroform memiliki LC50 pada sebesar 240,6432 μg/ml, menurut McLaughlin berpotensi sebagai pestisida (Oratmangun, dkk, 2014).

Skrining Fitokimia
Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif. Analisis fitokimia Pada penelitian ini dilakukan terhadap tanaman patah tulang yang sudah dimaserasi menggunakan pelarut metanol dan kloroform. Pengujiannya dilakukan dengan cara mengambil sedikit sampel dari kedua ekstrak tersebut, lalu ditambahkan reagen sesuai dengan senyawa yang akan diidentifikasi. Senyawa-senyawa yang diperiksa keberadaannya adalah alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid (Oratmangun, dkk, 2014).
Hasil analisis fitokimia pada ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
Hasil uji fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid, tanin dan saponin. Dari hasil tersebut berkaitan dengan kematian (mortalitas) Artemia salina pada larutan ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) yang terlarut pada metanol dan kloroform, membuktikan adanya metabolisme sekunder yang bersifat polar dan nonpolar. Senyawa metabolit sekunder dari patah tulang yang bersifat polar yaitu flavonoid, tanin dan saponi, dan yang bersifat nonpolar yaitu alkaloid (Oratmangun, dkk, 2014).
Senyawa fitokimia yang memberikan efek toksik yaitu flavonoid, dimana pada kadar tertentu memiliki potensi toksisitas akut. Adanya flavonoid dalam lingkungan sel, menyebabkan gugus OH- pada flavonoid berikatan dengan protein integral membran sel. Hal ini menyebabkan terbendungnya transport aktif Na+ - K+. Transpor aktif yang berhenti menyebabkan pemasukan ion Na+ yang tidak terkendali ke dalam sel, hal ini menyebabkan pecahnya membran sel (Scheuer, 1994). Pecahnya membran sel inilah yang menyebabkan kematian sel (Oratmangun, dkk, 2014).
Senyawa flavonoid dan tanin mempunyai mekanisme efek antikankermasing-masing. Menurut Woo et al., (2013), Mekanisme flavonoid sebagai antikanker ada beberapa teori:
1.      Flavonoid sebagai antioksidan yaitu melalui mekanisme pengaktifan jalur apoptosis sel kanker. Mekanisme apoptosis sel pada teori ini akibat fragmentasi DNA. Fragmentasi ini diawali dengan dilepasnya rantai proksimal DNA oleh senyawa oksigen reaktif seperti radikal hidroksil.
2.      Flavonoid sebagai penghambat proliferasi tumor/kanker yang salah satunya dengan menghibisi aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur transduksi sinyal dari membran ke sel inti.
3.      Dengan menghambat aktivitas reseptor tirosin kinase. Karena aktivitas reseptor tirosin kinase yang meningkat berperan dalam pertumbuhan keganasan.
4.      Flavonoid berfungsi juga untuk mengurangi resistensi tumor terhadap agen kemoterapi.
Mekanisme kematian larva juga berhubungan dengan fungsi senyawa alkaloid dan tanin dalam patah tulang yang dapat menghambat daya makan larva (antifedant). Menurut Cahyadi (2009) Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa, sehingga tidak mampu mengenali makanannya sehingga larva mati kelaparan (Oratmangun, dkk, 2014).




























BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Ekstrak metanol dan kloroform dari tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) bersifat toksik dan berpotensi sebagai pestisida. Nilai LC50
ekstrak metanol tanaman Patah Tulang ialah 332,2489 μg/ml, sedangkan LC50 dari ekstrak kloroform tanaman Patah Tulang ialah 240,6432 μg/ml.
2.      Senyawa yang terkandung didalam ekstrak tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) yang diduga bersifat toksik yaitu Flavonoid, Alkaloid dan Tanin.

B.     Saran
Saran yang dapat diberikan antara lain:
1.      Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menunjukkan ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang memiliki potensi toksisitas, sehingga perlu dilakukan pengujian bioaktivitas lebih lanjut terhadap tanaman ini.
2.      Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan kimia yang memiliki potensi toksisitas, dengan mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa sitotoksik yang terdapat dalam tanaman patah tulang sampai menentukan struktur molekul/senyawa aktif.







DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. E., Goetz C.M., Mc Laughlin J. L. 1991. A Blind Comparison of Simple Bench-top Bioassay and Human Tumor Cell Cytotoxicities as Antitumor Prescrenss. Natural Product Chemistry. Elseiver. Amsterdam.
Apantaku, L.M. 2002. Breast-Conseving Surgery for Breast Cancer. Am.Fam.Physician, Vol.66, No.12, 2271-2278.
Cahyadi, R. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia L) Terhadap larva Artemia salina Leachdengan metodeBrine shrimp lethality test (BST). Universitas Dipenogoro Repository.5: 1-8.
Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravaloz MD. Comparison Between Two Brine Shrimp Assays to Detect In Vitro Cytotoxicity In Marine Natural Products. BMC Biotechnology. 2002;2:1472-6570.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara.  Hal. 89-92.
Dwiatmaka, Y. 2000. Skrining tanaman Berkhasiat Antikanker Dengan Metode “BST”, dalam Yuswanto, Ag. dan Sinaradi (Eds.). Kanker. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma. hal: 110-113.
Ganiswara. 2003. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, 636-701. Jakarta:  Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke dua. Bandung: Penerbit ITB.
Harborne, J. B. 1994. The Flavonoids. Chapman and Hall. London.
Hawariah, L.P. 1998. Kanker Payudara. Serdang: Penerbit universiti Putra Malaysia.
Hendrawati A. R. S. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kemangi (Ocimum sanctum Linn.) Terhadap Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kurnia, A., Pertamawati., Rifatul W., Hendig, W. 2005. Efek Penghambat Pertumbuhan Cell-line Secara In-Vitro dari Ekstrak Etanol Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff.). Artocarpus, Vol 5 (2), 89.
Mayer BNNR, Ferrigni ML. Brine Shrimp A Convinient General Bioassay For Active Plant Constituents. J of Plant Medical Research. 1982;45:31-34.
Mc. Laughlin, J. L., Chang, C. J., and Smith, D. L. 1991. Bench-Top, Bioassay for The Discovery of Bioactive Naturals Products, An Update, Natural Product Chemistry. Elseiveir, Amsterdam.
Meyer, B.N., et al., 1982. Brine Shrimp : A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent. Drug Information Journal, Vol. 32, 513-524.
Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Oratmangun, Sandriani A., Fatimawali, Widdhi Bodhi. 2014. Uji Toksisitas Ekstrak Tanaman Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli  L.) Terhadap Artemia Salinadengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) Sebagai Studi Pendahuluan Potensi Anti Kanker. Pharmacon jurnal Ilmiah Farmasi –UNSRAT Vol. 3 No. 3 Agustus 2014 ISSN 2302 -2493.
Scheuer, J. S. 1994. Produk Alami Lautan. Cetakan pertama. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sismindari, Sudjadi, Sulistyani, N. 2002. Aktivitas Pemotongan DNA Superkoil oleh Fraksi Protein Daun Morinda citrifolia.  Majalah Farmasi Indonesia, 13 (4), 174-179.
Sukardiman, Puspitasari, H.p., Widyawaryanti. 2003. Uji Aktivitas Ekstrak Metanol Herba Ageratum congzides L pada Kultur Sel Myeloma Mencit. Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3, 93.
Taylor L. 2002. The Healing Power Of Rainforest Herbs. http//www.raintree.com/aveloz.htm
Wijayakusma, H. M. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Cetakan Pertama, Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini.
Woo, H. D dan Kim, J. 2013. Dietary Flavonoid Intake and Risk of Stomach and Colorectal Cancer. World Journal of Gastroenterology. 7: 1011-1019.


1 komentar: